Saturday 29 June 2013

Aku Merindukanmu Ayah

oke pada malam miggu ini aku bakal ngepost tentang cerpen ku yang lainnya, moga terhibur =)




Titik hujan membasahi jendela kamar Tiara. Hari itu hujan turun dengan deras. "Non Tiara, makan dulu non, keburu dingin lho." Kata mbak Titik. "Aku mau nunggu ayah pulang dulu, mbak." Dengan lirih Tiara menjawab. Sudah beberapa hari ini ayah Tiara selalu pulang larut malam, atau mungkin lebih tepatnya sejak ibunya meninggal karena kecelakaan itu. Waktu itu sudah larut malam, ayah dan ibu Tiara sedang perjalanan pulang dari Jogja. Tiba tiba datang cahaya yang menyilaukan dan......BLAR!!!sebuah truk pasir menabrak mobil orang tuanya. Ibunya meninggal seketika, ayahnya sempat koma di rumah sakit. Sejak saat itu, ayah Tiara hidup dalam penyesalan. Jika saja dia dulu tidak mengajak ibu bersamanya, dia pasti masih berkumpul bersama mereka sekarang. Penyesalan itulah yang membuat ayah Tiara semakin menjauh dari kehidupan Tiara. Ayahnya selalu membenamkan dirinya ke dalam pekerjaannya.
Berangkat pagi buta, pulang larut malam. Begitulah keseharian ayah Tiara kini. Seringkali Tiara melihat ayahnya melamun dalam kegelapan, hanya disinari cahaya laptop yang terpampang di meja kerjanya. Kerap pula Tiara mendapati ayahnya melihat dengan tatapan kosong ke arah layar televisi yang sedang memutar video rekaman keluarganya. Terlihat sekali kesedihan yang melanda ayah 47 tahun itu. Begitulah keadaan rumah Tiara yang berubah 180 derajat.
Tiara merindukan ayahnya yang dulu, yang selalu membantunya mengerjakan tugas sekolah, bermain basket dengannya di sore hari, bermain video game di hari minggu pagi, dan mengajaknya melihat hal hal baru nan menarik di liburan sekolahnya. Tiara ingin mengulang masa masa itu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatnya kembali ke masa masa indah itu.
Sekali lagi Tiara tersadar dari angan-angannya dan kembali melihat titik titik hujan tanpa adanya tanda tanda kedatangan ayahnya. Merasa kasihan, mbak Titik membawakan makanan Tiara ke kamarnya. Mbak Titik lah yang selalu  membujuk dan memaksa Tiara untuk paling tidak memasukkan sesuap nasi ke dalam tubuhnya yang mulai terlihat kurus itu. Dia merasa sangat iba melihat majikannya yang selalu ceria ini berubah menjadi murung. Namun apalah usaha yang dapat dilakukan olehnya selain menyemangatinya dan berusaha untuk selalu ada untuk Tiara, serta berdoa tentu saja.
Keesokan harinya, sama seperti hari hari biasa setelah kepergian ibunya, dia melihat hanya ada satu piring di atas meja. Hilang sudah nafsu makan Tiara, yang memang sudah hilang sejak tadi malam. Untuk kesekian kalinya Tiara minta bekal makanan untuk dibawanya ke sekolah, yang pada akhirnya akan diberikan ke temannya, Dodi. Tiara juga semakin menarik diri dari pergaulan, sering dia duduk termenung sendiri di pojokan kelasnya saat istirahat sementara teman-teman yang lain pergi berhamburan ke luar kelas. Rere, teman baiknya pun tidak dapat membujuknya untuk "hidup" kembali.
            "Heh!jangan bengong aja, kesambet lho ntar, ke kantin yuk!" ajak Rere "Enggak ah, gak laper" jawab Tiara datar. Melihat tidak adanya ketertarikan di wajah sahabatnya itu, Rere mengeluarkan kotak kecil berbungkus kertas kado dengan motif bunga tulip besera pita mengkilap menghiasi tutupnya. Sambil menyodorkannya ke Tiara ia berkata, "Aku tunggu di kantin ya" meninggalkan Tiara yang terpaku melihat kotak kecil dihadapannya. Dengan perlahan tangannya menggapai  kotak itu, dibukanya dengan hati-hati. Dibacanya kertas warna pink yang muncul di balik tutup kotak itu, biar kamu gak lupa makan, kalo yang pendek nunjuk angka 6 ato 2 berarti kamu harus makan, selamat ulang tahun sahabatku. Terlihat sebuah jam tangan warna cokelat begitu Tiara mengambil kertas ucapan tadi."Ah benar, ini hari ulang tahunku" pikir Tiara.
Tiba-tiba terlintas sesuatu di pikirannya yang membuat ia langsung berlari ke kantin. Sesampainya di sana, kedua bola matanya menyapu seluruh ruangan, mencari gadis berkacamata dengan rambut sebahu dan sebuah bando pita yang bertengger di kepalanya. Begitu melihat sosok yang ia cari, Tiara langsung menghampirinya. Melihat Tiara berlari kearahnya, Rere berdiri merentangkan kedua tangannya untuk menyambut pelukan dari sahabatnya itu. Sontak seisi kantin menatap ingin tahu kearah mereka berdua. Air mata mengalir lembut di pipi Tiara, "Makasih Rere" katanya lirih."Aku mulai bertanya-tanya kapan kamu bangun dari tidurmu" bisik Rere.
Sepulang sekolah, Tiara mengajak Rere untuk menghabiskan waktu bersama. Masih dalam keadaan tidak percaya, Rere dengan cepat mengiyakan permintaan itu. Seperti kembali ke masa lalu. Mereka melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan bersama setiap harinya. Tujuan pertama, Warung Steak ‘'WS' tempat mereka biasa makan siang sebelum berjalan-jalan mengelilingi Kota Solo. Namun tidak seperti biasanya, setelah selesai makan Tiara ingin langsung ke rumah Rere. Dengan menggunakan jasa angkot 07 yang akan menurunkan mereka di pertigaan dekat rumah Rere, mereka pergi. "Tumben kamu gak minta dijemput Pak Amir aja" "Enggak ah, udah lama ngak naik angkot, kangen" mereka bercakap-cakap sembari menunggu angkot yang mereka tumpangi memasuki kawasan rumah Rere. Namun ada satu hal yang tidak diberitahukan Tiara kepada Rere, bahwa sebenarnya dia tidak memberi tahu Pak Amir tentang dia pergi dengan Rere. Sejak mereka keluar dari gerbang sekolah, Tiara sudah mematikan HPnya.
Mbak Titik khawatir karena Tiara sampai saat itu belum juga pulang. Dia berkali-kali menelepon Pak Amir, namun tetap saja ia mendapat jawaban yang sama, "Belum kelihaan tu mbak". Ketika jam tangan Pak Amir menunjukkan pukul 2.25, Pak Amir memutuskan unuk masuk dan mencari Tiara. Beliau inisiatif untuk bertanya kepada seorang guru yang kebetulan berpapasan dengannya, "Hari ini ada diklat paskibra pak, jadi sekolah harus di-clear-kan sebelum jam 2, atau putri bapak juga ikut paskibra mungkin?" betapa terkejutnya Pak Amir ketika mendengar jawaban dari guru itu. Pak Amir tahu Tiara sudah tidak mau mengikuti ekskul apapun, sekali lagi tentu saja sejak kejadian itu.
Dalam perjalanan untuk menemui Ayah Tiara, Pak Amir menyempatkan diri untuk memberi tahu Mbak Titik. Sesampainya di kantor, Pak Amir bergegas menuju ruangan Ayah Tiara. Saking  paniknya, ia masuk saja tanpa mengetuk pintu, dan langsung mengatakan apa yang Pak Amir ketahui kepada ayah Tiara, dihadapan para koleganya. Jam dinding tiba-tiba seperti berhenti berdetak, suasana menjadi hening seketika saat Pak Amir menyelesaikan ceritanya.
"Tiara, udah lama gak ketemu, kemana aja? Kok lama banget gak dolan kesini" sambut Tante Rita, "Iya tante udah lama ya" jawab Tiara, "Bu kita ke kamar dulu ya" kata Rere, "Oh ya ya, Tiara mau minum apa?" "Ntar kita buat sendiri deh bu" potong Rere, "Ya udah, kalau pengen apa gitu bilang ya" jawab Tante Rita. Hati Tiara terasa lebih ringan setelah mendapat sambutan hangat dari Tante Rita. Di kamar mereka bercerita banyak hal, bahkan sampai menonton drama korea, kegiatan itu semakin membuat hati Tiara semakin ringan.
Ketika menikmati segelas es teh sambil melihat matahari terbenam di teras belakang rumah Rere, mereka dikejutkan oleh suara Tante Rita, "Eh Pak Anggoro, mau jemput Tiara ya?". Ada sedikit rasa gembira ketika ia mendengar ayahnya datang untuk menjemputnya, namun begitu melihat ekspresi ayahnya ketika ia mengajaknya pulang, perasaan Tiara berubah menjadi marah. Dia hanya berdiri tak bergeming sementara ayahnya mengajaknya untuk pulang. Ayah Tiara mulai tidak sabar dan menarik tangan Tiara, memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Rere dan Tante Rita berusaha menenangkan Pak Anggoro yang berteriak-teriak kepada Tiara, "Ayo pulang Tiara! Ayah sibuk! Masih banyak kerjaan! Ayah gak ada waktu buat ngladeni sikap keras kepalamu ini!". Tiara tidak percaya ayahnya bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, kemarahannya pun tak terbendung, luapan emosi yang selama ini dipendamnya ia keluarkan begitu saja, "Gak mau yah! Aku gak mau pulang sama ayah!" hal selanjutnya yang ia ketahui adalah ia merasakan rasa panas di pipinya "Kamu yang memaksa ayah untuk berbuat sejauh ini, ayo pulang!". Rere dan tante Rita melihat mobil Ayah Tiara meluncur keluar dari halaman rumah mereka dengan perasaan campur aduk.
Di tengah jalan, Tiara teringat kejadian-kejadian semasa hidupnya, dari ketika ia masih kecil, ketika masuk SMP, SMA, termasuk kejadian itu, semuanya berkelebat berdesak-desakan dalam pikirannya yang kalut. Sampai akhirnya ia teringat tamparan ayahnya, rasa panas masih ia rasakan di pipinya, pikirannya menjadi semakin kalut. Tidak bisa menahan diri, ia pun mulai memberontak dari kursi belakang, menendang-nendang kursi sopir, mengancam untuk melompat dari mobil sambil menjerit histeris. Ayah Tiara kewalahan, ia mulai tidak bisa mengendalikan laju mobil, tidak sadar kakinya menginjak pedal gas semakin dalam, konsentrasinya sudah tidak pada mengendalikan mobil. Sementara Tiara masih saja memberontak, tidak menghiraukan mobilnya yang melaju semakin kencang. Dalam sekejap mata, Tiara menyadari dunianya berputar, tidak bukan dunia yang berputar, ia yang berputar kemudian semuanya menjadi gelap. Dia mendengar suara ambulans meraung-raung memekakkan telinga. Ia membuka matanya perlahan, yang sempat ia dengar hanya kalimat  Tiara, maafkan ayah kemudian semua menjadi gelap lagi.
Baik Pak Amir maupun Mbak Titik kini sudah berada di rumah sakit. Di atas ranjang berseprei putih, di kamar anggrek nomor 9, terbaring Tiara yang tak sadarkan diri. Semua alat bantu yang menempel pada tubuhnya, semakin memperburuk suasana kamar itu. "Putri bapak mengalami yang kami sebut vegetative state, serebrum, ah maksud kami otak besarnya mengalami kerusakan cukup parah karena menghantam aspal dengan keras, kami tidak menemukan gejala abnormal pada batang otaknya, putri bapak masih dapat bernapas dengan spontan, dan fungsi organ tubuh lainnya juga masih dapat berfungsi. Fungsi biologisnya sebagai manusia masih baik, namun maaf otaknya secara umum tidak berfungsi lagi. Maaf saya harus menyampaikan berita ini." Dokter Bandi berhenti sejenak, membiarkan Ayah Tiara untuk mencerna penjelasannya barusan, kemudian melanjutkan, "Kami harap tidak, namun ada beberapa kasus si pasien tidak segera sadarkan diri setelah 3 bulan lebih, kami menyebutnya persistent vegetative state, seseorang dalam keadaan ini sangat mungkin untuk sadar apabila sebelumnya ia mengalami koma, namun peluang pemulihan fungsi otaknya seperti sedia kala sangat kecil. Kami akan melalukan usaha yang terbaik yang dapat kami berikan untuk mengembalikan putri bapak, namun sekali lagi maaf kami tidak dapat memberikan harapan lebih pada bapak sekeluarga." Dokter Bandi mengakhiri penjelasannya.
Baru sekarang Ayah Tiara menyadarinya, selama ini ia berpikir Allah tidak adil, mengambil istrinya begitu saja. Seperti seorang anak kecil yang hanya melihat kearah sebuah permen kecil yang tergeletak di dalam kotak kaca dengan gembok menguncinya rapat, padahal digenggamannya ada sepotong es krim siap dilahapnya kapan pun. Ia selama ini tidak menyadari betapa Allah maha pengasih. Walaupun mengambil istri yang sangat dicintainya, namun paling tidak Ia masih berbaik hati membiarkan putrinya tetap di sisinya. Ah kenapa aku baru menyadarinya sekarang, setelah melihat putriku tergeletak tak sadarkan diri entah sampai kapan. Namun aku rela menunggu sampai kapan pun, seperti ia juga menunggu ayahnya ini untuk kembali memeluknya. Walaupun butuh waktu selamanya, maka selamanya itulah aku akan menunggu.