Titik hujan membasahi jendela
kamar Tiara. Hari itu hujan turun dengan deras. "Non Tiara, makan dulu
non, keburu dingin lho." Kata mbak Titik. "Aku mau nunggu ayah pulang
dulu, mbak." Dengan lirih Tiara menjawab. Sudah beberapa hari ini ayah
Tiara selalu pulang larut malam, atau mungkin lebih tepatnya sejak ibunya
meninggal karena kecelakaan itu. Waktu itu sudah larut malam, ayah dan ibu
Tiara sedang perjalanan pulang dari Jogja. Tiba tiba datang cahaya yang
menyilaukan dan......BLAR!!!sebuah truk pasir menabrak mobil orang tuanya.
Ibunya meninggal seketika, ayahnya sempat koma di rumah sakit. Sejak saat itu,
ayah Tiara hidup dalam penyesalan. Jika saja dia dulu tidak mengajak ibu
bersamanya, dia pasti masih berkumpul bersama mereka sekarang. Penyesalan
itulah yang membuat ayah Tiara semakin menjauh dari kehidupan Tiara. Ayahnya
selalu membenamkan dirinya ke dalam pekerjaannya.
Berangkat pagi buta, pulang
larut malam. Begitulah keseharian ayah Tiara kini. Seringkali Tiara melihat
ayahnya melamun dalam kegelapan, hanya disinari cahaya laptop yang terpampang
di meja kerjanya. Kerap pula Tiara mendapati ayahnya melihat dengan tatapan
kosong ke arah layar televisi yang sedang memutar video rekaman keluarganya.
Terlihat sekali kesedihan yang melanda ayah 47 tahun itu. Begitulah keadaan
rumah Tiara yang berubah 180 derajat.
Tiara merindukan ayahnya yang
dulu, yang selalu membantunya mengerjakan tugas sekolah, bermain basket
dengannya di sore hari, bermain video game di hari minggu pagi, dan mengajaknya
melihat hal hal baru nan menarik di liburan sekolahnya. Tiara ingin mengulang
masa masa itu. Dia akan melakukan apa saja untuk membuatnya kembali ke masa
masa indah itu.
Sekali lagi Tiara tersadar
dari angan-angannya dan kembali melihat titik titik hujan tanpa adanya tanda
tanda kedatangan ayahnya. Merasa kasihan, mbak Titik membawakan makanan Tiara
ke kamarnya. Mbak Titik lah yang selalu
membujuk dan memaksa Tiara untuk paling tidak memasukkan sesuap nasi ke
dalam tubuhnya yang mulai terlihat kurus itu. Dia merasa sangat iba melihat
majikannya yang selalu ceria ini berubah menjadi murung. Namun apalah usaha
yang dapat dilakukan olehnya selain menyemangatinya dan berusaha untuk selalu
ada untuk Tiara, serta berdoa tentu saja.
Keesokan harinya, sama seperti
hari hari biasa setelah kepergian ibunya, dia melihat hanya ada satu piring di
atas meja. Hilang sudah nafsu makan Tiara, yang memang sudah hilang sejak tadi
malam. Untuk kesekian kalinya Tiara minta bekal makanan untuk dibawanya ke
sekolah, yang pada akhirnya akan diberikan ke temannya, Dodi. Tiara juga
semakin menarik diri dari pergaulan, sering dia duduk termenung sendiri di
pojokan kelasnya saat istirahat sementara teman-teman yang lain pergi
berhamburan ke luar kelas. Rere, teman baiknya pun tidak dapat membujuknya
untuk "hidup" kembali.
"Heh!jangan
bengong aja, kesambet lho ntar, ke kantin yuk!" ajak Rere "Enggak ah,
gak laper" jawab Tiara datar. Melihat tidak adanya ketertarikan di wajah
sahabatnya itu, Rere mengeluarkan kotak kecil berbungkus kertas kado dengan
motif bunga tulip besera pita mengkilap menghiasi tutupnya. Sambil
menyodorkannya ke Tiara ia berkata, "Aku tunggu di kantin ya"
meninggalkan Tiara yang terpaku melihat kotak kecil dihadapannya. Dengan
perlahan tangannya menggapai kotak
itu, dibukanya dengan hati-hati. Dibacanya kertas warna pink yang muncul di
balik tutup kotak itu, biar kamu gak lupa
makan, kalo yang pendek nunjuk angka 6 ato 2 berarti kamu harus makan, selamat
ulang tahun sahabatku. Terlihat sebuah jam tangan warna cokelat begitu
Tiara mengambil kertas ucapan tadi."Ah
benar, ini hari ulang tahunku" pikir Tiara.
Tiba-tiba terlintas sesuatu
di pikirannya yang membuat ia langsung berlari ke kantin. Sesampainya di sana,
kedua bola matanya menyapu seluruh ruangan, mencari gadis berkacamata dengan
rambut sebahu dan sebuah bando pita yang bertengger di kepalanya. Begitu
melihat sosok yang ia cari, Tiara langsung menghampirinya. Melihat Tiara
berlari kearahnya, Rere berdiri merentangkan kedua tangannya untuk menyambut pelukan
dari sahabatnya itu. Sontak seisi kantin menatap ingin tahu kearah mereka
berdua. Air mata mengalir lembut di pipi Tiara, "Makasih Rere"
katanya lirih."Aku mulai bertanya-tanya kapan kamu bangun dari
tidurmu" bisik Rere.
Sepulang sekolah, Tiara mengajak
Rere untuk menghabiskan waktu bersama. Masih dalam keadaan tidak percaya, Rere
dengan cepat mengiyakan permintaan itu. Seperti kembali ke masa lalu. Mereka
melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan bersama setiap harinya. Tujuan
pertama, Warung Steak ‘'WS' tempat mereka biasa makan siang sebelum
berjalan-jalan mengelilingi Kota Solo. Namun tidak seperti biasanya, setelah
selesai makan Tiara ingin langsung ke rumah Rere. Dengan menggunakan jasa
angkot 07 yang akan menurunkan mereka di pertigaan dekat rumah Rere, mereka
pergi. "Tumben kamu gak minta dijemput Pak Amir aja" "Enggak ah,
udah lama ngak naik angkot, kangen" mereka bercakap-cakap sembari menunggu
angkot yang mereka tumpangi memasuki kawasan rumah Rere. Namun ada satu hal
yang tidak diberitahukan Tiara kepada Rere, bahwa sebenarnya dia tidak memberi
tahu Pak Amir tentang dia pergi dengan Rere. Sejak mereka keluar dari gerbang
sekolah, Tiara sudah mematikan HPnya.
Mbak Titik khawatir karena
Tiara sampai saat itu belum juga pulang. Dia berkali-kali menelepon Pak Amir,
namun tetap saja ia mendapat jawaban yang sama, "Belum kelihaan tu
mbak". Ketika jam tangan Pak Amir menunjukkan pukul 2.25, Pak Amir memutuskan unuk masuk dan mencari Tiara.
Beliau inisiatif untuk bertanya kepada seorang guru yang kebetulan berpapasan
dengannya, "Hari ini ada diklat paskibra pak, jadi sekolah harus di-clear-kan sebelum jam 2, atau putri
bapak juga ikut paskibra mungkin?" betapa terkejutnya Pak Amir ketika
mendengar jawaban dari guru itu. Pak Amir tahu Tiara sudah tidak mau mengikuti
ekskul apapun, sekali lagi tentu saja sejak kejadian itu.
Dalam perjalanan untuk
menemui Ayah Tiara, Pak Amir menyempatkan diri untuk memberi tahu Mbak Titik.
Sesampainya di kantor, Pak Amir bergegas menuju ruangan Ayah Tiara. Saking
paniknya, ia masuk saja tanpa mengetuk pintu, dan langsung mengatakan
apa yang Pak Amir ketahui kepada ayah Tiara, dihadapan para koleganya. Jam
dinding tiba-tiba seperti berhenti berdetak, suasana menjadi hening seketika
saat Pak Amir menyelesaikan ceritanya.
"Tiara, udah lama gak ketemu, kemana aja? Kok lama banget gak dolan kesini" sambut Tante Rita, "Iya tante udah lama
ya" jawab Tiara, "Bu kita ke kamar dulu ya" kata Rere, "Oh
ya ya, Tiara mau minum apa?" "Ntar
kita buat sendiri deh bu" potong Rere, "Ya udah, kalau pengen apa gitu bilang ya" jawab
Tante Rita. Hati Tiara terasa lebih ringan setelah mendapat sambutan hangat
dari Tante Rita. Di kamar mereka bercerita banyak hal, bahkan sampai menonton
drama korea, kegiatan itu semakin membuat hati Tiara semakin ringan.
Ketika menikmati segelas es
teh sambil melihat matahari terbenam di teras belakang rumah Rere, mereka
dikejutkan oleh suara Tante Rita, "Eh Pak Anggoro, mau jemput Tiara
ya?". Ada sedikit rasa gembira ketika ia mendengar ayahnya datang untuk
menjemputnya, namun begitu melihat ekspresi ayahnya ketika ia mengajaknya
pulang, perasaan Tiara berubah menjadi marah. Dia hanya berdiri tak bergeming
sementara ayahnya mengajaknya untuk pulang. Ayah Tiara mulai tidak sabar dan
menarik tangan Tiara, memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Rere dan Tante
Rita berusaha menenangkan Pak Anggoro yang berteriak-teriak kepada Tiara,
"Ayo pulang Tiara! Ayah sibuk! Masih banyak kerjaan! Ayah gak ada waktu buat ngladeni sikap keras kepalamu ini!". Tiara tidak percaya
ayahnya bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, kemarahannya pun tak
terbendung, luapan emosi yang selama ini dipendamnya ia keluarkan begitu saja,
"Gak mau yah! Aku gak mau pulang sama ayah!" hal selanjutnya yang ia
ketahui adalah ia merasakan rasa panas di pipinya "Kamu yang memaksa ayah
untuk berbuat sejauh ini, ayo pulang!". Rere dan tante Rita melihat mobil
Ayah Tiara meluncur keluar dari halaman rumah mereka dengan perasaan campur
aduk.
Di tengah jalan, Tiara
teringat kejadian-kejadian semasa hidupnya, dari ketika ia masih kecil, ketika
masuk SMP, SMA, termasuk kejadian itu,
semuanya berkelebat berdesak-desakan dalam pikirannya yang kalut. Sampai
akhirnya ia teringat tamparan ayahnya, rasa panas masih ia rasakan di pipinya,
pikirannya menjadi semakin kalut. Tidak bisa menahan diri, ia pun mulai
memberontak dari kursi belakang, menendang-nendang kursi sopir, mengancam untuk
melompat dari mobil sambil menjerit histeris. Ayah Tiara kewalahan, ia mulai
tidak bisa mengendalikan laju mobil, tidak sadar kakinya menginjak pedal gas
semakin dalam, konsentrasinya sudah tidak pada mengendalikan mobil. Sementara
Tiara masih saja memberontak, tidak menghiraukan mobilnya yang melaju semakin
kencang. Dalam sekejap mata, Tiara menyadari dunianya berputar, tidak bukan dunia yang berputar, ia yang
berputar kemudian semuanya menjadi gelap. Dia mendengar suara ambulans
meraung-raung memekakkan telinga. Ia membuka matanya perlahan, yang sempat ia
dengar hanya kalimat Tiara, maafkan ayah kemudian semua
menjadi gelap lagi.
Baik Pak Amir maupun Mbak
Titik kini sudah berada di rumah sakit. Di atas ranjang berseprei putih, di
kamar anggrek nomor 9, terbaring Tiara yang tak sadarkan diri. Semua alat bantu
yang menempel pada tubuhnya, semakin memperburuk suasana kamar itu. "Putri
bapak mengalami yang kami sebut vegetative
state, serebrum, ah maksud kami
otak besarnya mengalami kerusakan cukup parah karena menghantam aspal dengan
keras, kami tidak menemukan gejala abnormal pada batang otaknya, putri bapak
masih dapat bernapas dengan spontan, dan fungsi organ tubuh lainnya juga masih
dapat berfungsi. Fungsi biologisnya sebagai manusia masih baik, namun maaf
otaknya secara umum tidak berfungsi lagi. Maaf saya harus menyampaikan berita
ini." Dokter Bandi berhenti sejenak, membiarkan Ayah Tiara untuk mencerna
penjelasannya barusan, kemudian melanjutkan, "Kami harap tidak, namun ada
beberapa kasus si pasien tidak segera sadarkan diri setelah 3 bulan lebih, kami
menyebutnya persistent vegetative state,
seseorang dalam keadaan ini sangat mungkin untuk sadar apabila sebelumnya ia
mengalami koma, namun peluang pemulihan fungsi otaknya seperti sedia kala
sangat kecil. Kami akan melalukan usaha yang terbaik yang dapat kami berikan
untuk mengembalikan putri bapak, namun sekali lagi maaf kami tidak dapat
memberikan harapan lebih pada bapak sekeluarga." Dokter Bandi mengakhiri
penjelasannya.
Baru sekarang Ayah Tiara
menyadarinya, selama ini ia berpikir Allah tidak adil, mengambil istrinya
begitu saja. Seperti seorang anak kecil yang hanya melihat kearah sebuah permen
kecil yang tergeletak di dalam kotak kaca dengan gembok menguncinya rapat,
padahal digenggamannya ada sepotong es krim siap dilahapnya kapan pun. Ia
selama ini tidak menyadari betapa Allah maha pengasih. Walaupun mengambil istri
yang sangat dicintainya, namun paling tidak Ia masih berbaik hati membiarkan
putrinya tetap di sisinya. Ah kenapa aku
baru menyadarinya sekarang, setelah melihat putriku tergeletak tak sadarkan diri
entah sampai kapan. Namun aku rela menunggu sampai kapan pun, seperti ia juga
menunggu ayahnya ini untuk kembali memeluknya. Walaupun butuh waktu selamanya,
maka selamanya itulah aku akan menunggu.
No comments:
Post a Comment